HARIANSOLORAYA.COM, SINGKAWANG, KALIMANTAN BARAT – Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Kalimantan Barat semakin tidak terkendali. Sejumlah oknum mafia tambang, seperti yang berinisial ALY, diduga terlibat dalam praktik ini dan bahkan menyalahgunakan bahan bakar bersubsidi seperti solar untuk menjalankan kegiatan ilegal tersebut. Kerusakan lingkungan yang masif, termasuk deforestasi dan pencemaran air, semakin memperburuk situasi, sementara masyarakat mempertanyakan penegakan hukum yang terkesan lemah.
PETI yang beroperasi di beberapa wilayah seperti Kecamatan Monterado, Capkala, Sungai Raya Kepulauan, serta Kelurahan Sagatani di Singkawang Selatan, seolah tak tersentuh hukum. Dugaan keterlibatan mafia dalam melindungi aktivitas tambang ilegal ini semakin kuat. Cukong-cukong PETI, seperti ALY yang merupakan warga Desa Gua Boma Kecamatan Monterado, dan LR, warga Kelurahan Sagatani, Singkawang Selatan, diduga berperan besar dalam kegiatan ini.
Menurut laporan tim investigasi gabungan media yang turun ke lapangan pada Kamis (3/10/2024), lokasi-lokasi PETI yang tersebar di berbagai titik, seperti Danau Sarantangan (Patek), serta beberapa lokasi di Desa Gua Boma, mengindikasikan adanya penggunaan mesin-mesin berat. Di salah satu lokasi, ALY disebut memiliki 10 unit mesin sedot Dompeng jenis Fuso dan 5 unit alat berat excavator yang digunakan untuk kegiatan pertambangan tanpa izin.
Hasil investigasi lapangan memperkuat dugaan bahwa para cukong tambang ini mampu membungkam aparat penegak hukum (APH), sehingga aktivitas ilegal mereka terus berlanjut tanpa hambatan. Masyarakat setempat juga menyuarakan keheranannya mengapa para pelaku PETI seolah kebal hukum, meskipun mereka jelas-jelas melanggar undang-undang.
Dalam sebuah wawancara dengan warga yang berada di lokasi tambang PETI, seorang saksi yang identitasnya dirahasiakan mengungkapkan bahwa lokasi tersebut memang milik ALY. Namun, kesaksian lainnya dari warga yang melintas di lokasi menyebutkan bahwa ia kurang mengetahui detail pemilik dari beberapa lokasi, tetapi memastikan bahwa seluruh area tersebut adalah wilayah operasi PETI.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dengan tegas mengatur sanksi bagi pelaku pertambangan tanpa izin. Pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 5 tahun serta denda maksimal Rp100 miliar. Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa perampasan barang, keuntungan, serta kewajiban membayar biaya akibat tindak pidana.
Praktik pertambangan ilegal ini juga berpotensi merusak lingkungan secara signifikan. Dari longsor hingga banjir akibat lubang-lubang besar yang tidak ditimbun kembali, kerusakan ini membawa dampak jangka panjang yang merugikan.
Diharapkan dari hasil temuan tim investigasi gabungan ini, Kapolda Kalimantan Barat segera mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku. Juga, perhatian dari Kapolri dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diperlukan untuk menghentikan praktik pertambangan ilegal ini sebelum kerusakan lingkungan semakin parah.
Tim investigasi terus berupaya mengumpulkan informasi lebih lanjut serta mengonfirmasi pihak-pihak terkait sebelum berita ini dipublikasikan. (*)
Sumber : Tim Gabungan Investigasi Awak Media Mata Elang
Eksplorasi konten lain dari Harian Solo Raya - Berani, Tegas dan Bermartabat
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.