HARIANSOLORAYA.COM || Kebebasan pers adalah pilar penting dalam demokrasi. Wartawan memiliki peran vital dalam menginformasikan publik tentang berbagai peristiwa, termasuk pelanggaran hukum dan ketidakadilan. Namun, ketika seorang jurnalis diintimidasi oleh oknum aparat penegak hukum, maka hal itu menjadi ancaman serius bagi prinsip demokrasi dan kebebasan berbicara. Kasus terbaru yang menimpa Heri Siswanto, wartawan Beritasulsel.com jaringan Beritasatu.com, menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan untuk membungkam kebenaran.
Heri Siswanto mengalami langsung tekanan ketika ia memberitakan adanya dugaan pungutan liar (pungli) dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satpas Polres Bone, Sulawesi Selatan. Setelah berita itu terbit, bukan apresiasi atau upaya investigasi dari pihak berwenang yang ia terima, melainkan kemarahan dari Kapolda Sulsel, Irjen Pol Andi Rian R Djajadi. Dalam percakapan telepon, Heri mengaku mendapat teguran keras dari Kapolda yang mempertanyakan motif pemberitaannya dan menuduhnya sebagai pihak yang menyerang institusi kepolisian.
Ironisnya, intimidasi tidak hanya berhenti pada teguran verbal. Andi Rian juga diduga menggunakan kekuasaannya untuk menindas istri Heri, Gustina Bahri, yang merupakan ASN Polri di Polres Sidrap. Gustina secara tiba-tiba dimutasi ke Polres Kepulauan Selayar, sebuah wilayah terpencil di ujung Provinsi Sulawesi Selatan. Banyak yang melihat mutasi ini sebagai bentuk balas dendam terhadap Heri karena pemberitaan yang ia buat.
Arogansi Kekuasaan
Kasus ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan oleh oknum pejabat tinggi untuk melindungi kepentingan pribadi atau institusi. Arogansi kekuasaan ini sangat berbahaya, karena ketika pejabat tinggi seperti Irjen Pol Andi Rian merasa berhak untuk menekan wartawan dan menindas bawahannya sendiri, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian akan tergerus. Alih-alih menjaga nama baik institusi, tindakan seperti ini justru mencoreng citra kepolisian di mata publik.
Kebebasan pers adalah hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 undang-undang tersebut menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati oleh semua pihak, termasuk aparat penegak hukum. Namun, dalam kasus ini, kita melihat bagaimana undang-undang tersebut diabaikan oleh seorang pejabat tinggi kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung hukum, bukan pelanggarnya.
Dampak Terhadap Kebebasan Pers
Intimidasi terhadap wartawan memiliki dampak yang sangat merusak bagi kebebasan pers. Jika jurnalis merasa takut untuk melaporkan fakta dan kebenaran, maka fungsi pengawasan terhadap kekuasaan akan hilang. Wartawan akan memilih untuk bungkam demi keselamatan mereka sendiri, dan publik akan kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan transparan. Ini bukan hanya merugikan wartawan, tetapi juga masyarakat luas yang berhak mendapatkan berita yang objektif.
Kasus ini menjadi perhatian serius bagi organisasi pers dan aktivis kebebasan berbicara. Serikat Wartawan Media Online Republik Indonesia (SEKAT-RI), melalui ketuanya Ibhe Ananda, dengan tegas mengecam tindakan Irjen Pol Andi Rian. Ia mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mencopot Andi Rian dari jabatannya. Menurut Ibhe, tindakan Kapolda Sulsel yang melarang wartawan memberitakan pelanggaran di institusi kepolisian adalah bentuk arogansi yang tidak bisa dibiarkan.
Peran Kapolri dalam Menegakkan Integritas
Kini, bola ada di tangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sebagai pemimpin tertinggi di institusi kepolisian, Kapolri memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas lembaganya. Tindakan tegas terhadap oknum yang menyalahgunakan jabatannya sangat diperlukan untuk memastikan bahwa Polri tetap menjadi institusi yang dipercaya oleh masyarakat.
Kapolri harus menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi perilaku intimidasi dan arogansi di tubuh kepolisian. Mempertahankan integritas institusi lebih penting daripada melindungi individu-individu yang telah mencoreng nama baik kepolisian. Jika tidak ada tindakan nyata terhadap kasus ini, maka publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap Polri.
Kesimpulan
Kasus intimidasi terhadap wartawan seperti yang dialami oleh Heri Siswanto adalah peringatan keras bahwa kebebasan pers di Indonesia masih rentan terhadap ancaman, terutama dari oknum pejabat yang memiliki kekuasaan besar. Pers yang bebas dan independen adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, kita harus melindungi para wartawan dari segala bentuk intimidasi dan memastikan bahwa mereka dapat bekerja dengan aman untuk menyampaikan kebenaran kepada publik.
Kapolri harus bertindak cepat dan tegas untuk menegakkan keadilan dalam kasus ini. Hanya dengan cara inilah kepercayaan masyarakat terhadap Polri dapat dipulihkan, dan kebebasan pers dapat tetap terjaga di negeri ini.
( Red )